Asal Template

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger


Rabu, 08 Desember 2010

Money! Power! Fame!

KOMPAS.com – Kita tak bisa menyangkal bahwa uang memang penting. Uang harus dicari, bahkan dikejar agar kita bisa makan, hidup layak, menikmati pelayanan kesehatan, dan mengenyam pendidikan yang baik. Di satu sisi, kita sama-sama mengetahui bahwa masyarakat kita menilai rendah orang yang mata duitan, karena kita anggap tamak bahkan tidak bermoral. Secara bersamaan, kita juga dibuat terheran-heran, menyaksikan gejala akhir-akhir ini, betapa orang dengan “tabungan” banyak hasil korupsi bisa berekspresi tenang-tenang saja, tampil di publik dengan percaya diri, seakan yakin bisa menyogok siapa saja di dunia ini.

Kita memang tidak lagi terkejut, saat seorang mantan menteri secara blak-blakan mengatakan bahwa berpolitik di negara kita sudah sulit tanpa memperhitungkan peranan uang. Dalam kampanye, bukankah tidak lagi malu-malu orang untuk membayar orang lain agar bisa mendapatkan dukungan? Teman saya bahkan mengatakan bahwa orang yang berduit cenderung tampak lebih seksi daripada yang tidak berduit.

Mau tidak mau, kita perlu mengakui bahwa uang memang berkuasa dan mempunyai kekuatan. Kita tahu ada pepatah: “Those with the gold make the rules.” Hal ini juga bisa kita buktikan dari dibelokkannya pembuatan undang-undang negara, demi kepentingan bisnis tertentu. Negara miskin dikontrol oleh orang kaya. Bahkan perang pun sering bukan didasari pertengkaran politik semata, semuanya kembali ke uang. Begitu “seksinya” uang, sampai-sampai bisa mendorong banyak orang rela mengotori dirinya dengan korupsi, menciptakan istilah gratifikasi, dan berbagai alasan untuk berbuat curang.

Pada akhirnya, bukankah banyak-sedikit, berguna atau tidaknya, serta nilai uang akan kembali ke masing-masing individu? Bagi individu tertentu gaji 2 juta bisa mencukupi pendidikan dan hidup layak sebuah keluarga, tetapi bagi individu lain uang 2 juta hanya dianggap sebagai upah kepada seorang petugas untuk “mengurus surat-surat”. Apakah kita memang akan mendewakan uang untuk bisa membangun pengaruh, mendapatkan respek dan tampak “seksi” di mata orang lain? Apakah tidak ada hal lain yang bisa menandingi uang, untuk membuat kita merasa punya kekuatan, memiliki pengikut dan merasa puas dan sejahtera?

Tidak “ujung-ujungnya duit”
Saya mencuri dengar pembicaraan sekelompok orang yang baru melakukan perjalanan dinas dari luar negeri. Seketika timbul pertanyaan di benak saya: apa keahlian orang-orang ini? Apa misi rombongan? Apa yang didapat dari perjalanan dinas yang dibiayai lembaga ini? Pertanyaan ini terus menggelitik karena hasil tanya-jawab saya membuktikan bahwa apa yang mereka amati, alami, dan bicarakan dalam kunjungannya sama sekali tidak berbuah pemikiran baru atau paling tidak pelajaran baru. Sulit rasanya memunculkan respek terhadap individu yang tampak cukup berduit dari belanjaannya.

Saya jadi teringat presenter berbadan mungil, Sarah Sechan, yang mempunyai follower lebih dari 250.000 orang di akun twitter-nya. Para follower seakan senantiasa antusias untuk mengetahui apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Sarah. Ketika ada inisiatif membantu korban Merapi, Sarah hanya berulang kali menyampaikan pesan pada para pengikutnya bahwa sumbangan bisa dikirim ke alamat tertentu. Ia mengatakan dirinya akan berada di sana. Kepedulian yang ditunjukkannya menumbuhkan respek. Truk demi truk sumbangan barang pun berdatangan, membuktikan bahwa tokoh muda ini punya pengaruh. Orang yang ingin berpengaruh, bisa mempengaruhi orang lain melalui respek yang tumbuh terhadap dirinya.

Jika kita membuka mata lebar-lebar, kita akan menyadari banyak orang bisa mendapat “pengikut” tanpa harus mengeluarkan cash. Lihat saja, Irfan Bachdim, yang dalam semalam mendapatkan follower lebih dari 20.000 orang, sesasat setelah menampilkan permainan cantik saat timnas kita mengalahkan Malaysia dengan 5-1. Lihat juga jagoan hip-hop Talib Kweli yang direspek tua muda. Gary Vay-ner-chuk yang bisa membuat analisa wine dengan pendekatan gonzo-nya, juga bisa membuat passion-nya berpengaruh.

Tentu sangat ketinggalan jaman, jika kita masih berpikiran bahwa uang semata yang bisa memberi kekuatan dan membuat diri kita berpengaruh. Seorang ahli manajemen perubahan mengatakan: ” — in business as well as in politics — is that these three much-celebrated resources are almost always overvalued as tools for leading change and making an impact. The surest way to fail is to rely for your success on money, power, and fame.“

Menambah daya tarik
Arkadi Kuhlmann, founder dan chairman dari ING Direct, yang sangat terobsesi dengan service leadership-nya, membuktikan bahwa ambisi, misi, dan hasil karya kita bisa membuat daya tarik. Beliau meyakini bahwa simpati dan rasa hormat memiliki kekuatan yang menghasilkan pengaruh yang lebih genuine. ”It is never about you. It is always about the mission. And people will follow you if you’re prepared to get a mission done, something with a goal that is a little bit beyond the reach of all of us,” begitu ungkapnya. Orang akan merespek orang yang “berisi”, yang misinya berpengaruh karena dipercaya, jernih, dan berbobot.

Jane Harper, veteran IBM, meyakinkan para pembacanya bahwa pendekatan yang rendah hati dibarengi dengan ambisi yang kuat, walaupun tidak seekstrim Mahatma Gandhi, akan membuat publik atau pengikut merasakan bobot. Kita perlu jujur mengakui bahwa kita tidak mungkin juara di segala bidang. Tetapi, di dunia yang kompleks, fast-moving dan sulit dipahami ini, kita perlu yakin bahwa respek yang kita dapatkan dari pihak lain sangat kita perlukan untuk survive, apakah itu di bidang politik, bisnis, ataupun di rumah tangga. First you get the respect. Then you get the power. After you get the power, the money will follow you.

Read More......

Sabtu, 09 Oktober 2010

Kabar Kotaku

"Tunjangan Sertifikasi Disunat, Guru Protes"
Pemotongan tunjangan sertifikasi guru di Kota Batu sebesar 10 persen dikeluhkan para guru yang telah lulus sertifikasi. Pasalnya selain potongan itu, selama ini tunjangan yang mereka terima juga dipotong 15 persen untuk pajak.Dengan begitu, total potongan mencapai 25 persen.
Pemotongan 10 persen itu,menurut beberapa guru yang wanti-wanti tidak dikorankan namanya untuk pembinaan guru yang telah lulus sertifikasi. Hanya, selama ini, kegiatan pembinaan baru dilakukan sekali. Padahal informasinya seharusnya pembinaan dilakukan setiap enam bulan sekali. Karena itu, sebagian guru juga mempertanyakan untuk apa saja pemotongan itu.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Batu,Mistin, yang dikonfirmasi masalah itu mengatakan, pemotongan tunjangan sertifikasi sebesar 10 persen itu sebenarnya kembali kepada guru. Alasannya, meski telah menyandang guru bersertifikasi, tetapi tidak dilepas begitu saja. Mereka harus tetap dibina dan ditingkatkan kemampuannya, sehingga ilmunya tidak hilang. Dikhawatirkan, jika ilmu mereka tidak diupgrade, lama kelamaan hilang. "Jadi, pemotongan itu tidak menyalahi aturan," kata Mistin.
Kemudian, soal pemotongan gaji, hal itu juga sudah diatur, sehingga pemotongan itu tidak salah. Karena potongan 15 persen untuk pajak tersebut merupakan bagian dari penerapan aturan. Apalagi menurut Mistin, untuk meningkatkan kemampuan guru yang telah lulus sertifikasi itu, sudah ada lembaganya sendiri. Yaitu, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP). Sehingga, semua program pembinaan dijadwalkan oleh LPMP, bukan diknas.
Disampaikan Mistin, selama ini jumlah guru yang telah lolos sertifikasi dikota Batu sebanyak 653 orang. Dari jumlah itu, ada 58 guru swasta yang mendapat sertifikasi. Karena itu, mereka berhak atas tambahan insentif sebesar sekali gaji. (Iid/nen)

Berita diatas diambil dari harian Jawa Pos edisi hari Jum'at, tanggal 8 oktober 2010 halaman Malang Raya, kolom Batu.

Menanggapi berita diatas, sebenarnya bukan disunat (karena sudah diterimakan). Tetapi Guru yang sudah mendapatkan TPP wajib mengikuti pelatihan mandiri (Membayar sendiri) sebesar Rp. 1.200.000;(sekitar 10%) dari dana TPP. Pelatihan itu adalah:
1. MPE, yang diadakan di Kota Batu membayar Rp. 300.000;
2. Diklat terakreditasi di LPMP Surabaya membayar Rp. 900.000;
Dasar dari 2 kegitan diatas adalah surat dari LPMP Jawa Timur yang mengacu ke Inpres nomor 1 tahun 2010.
Padahal Inpres itu tidak ada butir yang mengatur penggunaan Tunjangan sertifikasi sebesar 10 persen untuk 2 kegiatan diatas. Hal inilah yang memicu keresahan kalangan guru bersertifikasi di Kota Batu.
Bagaimana dengan teman-teman guru di Kota lain, atu di propinsi yaang lain, apakah anda kena kewajiban yang sama? Tolong komentarnya dong!!!

Read More......

Rabu, 29 September 2010

Joglo Dau Juga





Read More......

Joglo Dau






Temu kangen teman eSeMPe

Read More......

Kamis, 23 September 2010

Temu kangen Teman SMP

Read More......

Kamis, 27 Mei 2010

Holiday

LIBURAN SEKOLAH
Perlunya Alternatif Liburan Cerdas
Rabu, 26 Mei 2010 | 19:03 WIB

Oleh Yayuk Partowiredjo

KOMPAS.com - Liburan sekolah sering dimanfaatkan oleh para orang tua untuk berlibur bersama keluarga. Beragam tawaran wisata ke tempat-tempat menarik, mulai dari yang diklaim sebagai "Paket Murah" sampai penawaran dengan janji-janji "Memberikan Pelayanan yang Memuaskan" hadir memenuhi setiap acara pameran wisata. Lantas, bagaimana memilih ataupun mengisi liburan yang tepat untuk keluarga, terutama anak-anak yang bersiap libur sekolah?

Liburan cerdas tentu harus cerdas dalam perencanaan, cerdas dalam menentukan anggaran dan juga cerdas dalam mengimplementasikannya. Intinya, liburan memberikan manfaat yang baik, bagi anak maupun orang tua itu sendiri. Bahkan, liburan cerdas diharapkan bisa meningkatkan quality time antara orang tua dan anak.

Liburan cerdas tidak berbicara mengenai murah atau mahal, tetapi menitikberatkan kepada kepuasan dan manfaat. Karena, ukuran murah dan mahal bagi orang adalah relatif. Dan, dengan liburan yang terencana, pengeluaran untuk liburan bisa diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi over budget.

Sebenarnya, mengisi liburan juga tidak harus dengan berwisata. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan orang tua untuk mengisi liburan, meskipun tanpa harus meninggalkan rumah.

Namun, tak ada salahnya pula jika membawa anak-anak kita keluar untuk benar-benar menikmati liburannya. Tentunya, memberikan suasana baru setelah menghadapi berbagai macam kegiatan formal akan berguna bagi perkembangan sia anak.

Alternatif Liburan cerdas

Salah satu alternatif liburan cerdas adalah dengan mengunjungi museum, tempat bersejarah, taman nasional ataupun cagar alam. Tempat-tempat tersebut menjadi pilihan "cerdas" karena cenderung lebih mudah dilakukan, tidak perlu mengeluarkan banyak biaya, ataupun melakukan reservasi terlebih dahulu.

Lokasinya pun tidak sulit untuk dijangkau, karena biasanya berada di dalam kota. Bahkan, beberapa tempat tersebut biasanya bisa dikunjungi dengan kendaraan umum.

Bagi yang tinggal di Jakarta, Anda bisa memanfaatkan angkutan umum Transjakarta yang cukup nyaman untuk berkeliling. Selain murah, banyak tempat wisata yang mengandung nilai sejarah yang dilewati oleh bus ini. Bahkan, di shuttle busway ada peta-peta yang membuat Anda tidak perlu bingung harus berhenti di mana saja.

Alternatif liburan cerdas lainnya adalah membawa anak melakukan kegiatan di alam bebas dan menikmati petualangannya. Membiarkan anak bersatu dengan alam akan menghadirkan pengalaman tersendiri untuk anak.

Di alam, anak akan belajar langsung dari segala isi alam yang dilihatnya dan disentuhnya. Pengalaman ini akan meningkatkan kemampuan anak dalam hal kemandirian, survival, adaptasi, serta berempati terhadap lingkungan sekitar.

Anda mau mencoba tips ini?

Read More......

Senin, 10 Mei 2010

Education

A. Malik Fadjar : Membermaknakan Ujian Nasional
"Didiklah dan persiapkanlah generasi penerusmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu, karena mereka akan hidup pada suau zaman yang bukan lagi zamanmu" (Khalifah Ali Bin Abi Thalib).
---
PESAN singkat (semacam "SMS") di atas dalam percaturan dunia "pendidikan Islam" sangat populer. Pesan Khalifah Ali itu kemudian dalam percaturan dunia "pendidikan kontemporer" sering dianalogkan dengan pernyataan pakar masa depan Alvin Toffler, bahwa "pendidikan harus mengacu pada perubahan masa depan". Kini, pertanyaannya: Apa keterkaitan pesan Khalifah Ali dan pernyataan Toffler itu dengan judul tulisan ini, khususnya dalam membermaknakan ujian nasional (unas)?

Sungguh tidak mudah dan tidak serta merta terjawab. Apalagi di tengah-tengah kenyataan adanya reduksi pemaknaan, pendidikan diartikan sesuatu yang identik dengan persekolahan, dan sekolah pun kemudian direduksi lagi menjadi potongan-potongan makna dalam berbagai bentuk seperti kurikulum dan ujian nasional (unas), sehingga penghargaan masyarakat terhadap pendidikan terus menyempit dan lebih bersifat atributif.

Ditambah dengan kenyataan menunjukkan bahwa saat ini masyarakat tengah dilanda "krisis kepercayaan" terhadap berbagai kebijakan pendidikan. Sampai-sampai unas yang sebenarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan isi, jiwa, dan semangat pelaksanaan Undang-Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 (terutama pasal 35 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 57, 58, dan 59 tentang Evaluasi, pasal 60 tentang Akreditasi, dan pasal 61 tentang Sertifikasi), dinilai sebagai kebijakan yang kontroversial.

Maka tidaklah mengherankan, tetapi sekaligus menyedihkan, kalau tidak hendak dibilang "konyol", jika kemudian perdebatan seputar "pro dan kontra" unas, baik di kalangan pakar maupun pengamat pendidikan terus berlanjut dan semakin menjadi-jadi. Bahkan, undang-undang maupun peraturan peme­rintah yang terkait dengan unas digugat lewat Mahkamah Agung (MA). Dengan dalih dan atas nama "korban unas", gugatan itu dikabulkan oleh MA. Tetapi, unas pun terus berlanjut.

Sesungguhnya pula, dari sudut pandang keseluruhan makna maupun kepentingan pendidikan, khususnya untuk perstandaran pendidikan nasional dalam berbagai jenis dan jenjang, unas itu perlu dan penting. Langsung maupun tidak langsung, unas itu secara keseluruhan hasilnya akan menggambarkan kualitas pendidikan nasional. Nilai rata-rata untuk suatu mata pelajaran yang diujikan secara nasional pada hakikatnya merupakan salah satu model tolok ukur capaian sekolah (SD, SMP, SMA, dan sederajat) dalam apa yang sering disebut sebagai the basics (3R's: reading, writing, and arithmatic).

Artinya, merupakan modal dasar untuk pengembangan potensi akademik peserta didik dalam memasuki jenjang-jenjang pendidikan selanjutnya. Karena itu, unas harus pula dilakukan dengan segala kejujuran, baik oleh sekolah maupun pemerintah. Apa pun hasilnya harus diterima apa adanya. Karena, bak kata pepatah lama: "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya." Dengan demikian, unas itu secara tidak langsung juga menguji tingkat kejujuran bangsa ini dalam berbagai aspeknya.

Menyadari bahwa pendidikan akan selalu terkait dengan perjalanan dan kelangsungan hidup ge­nerasi ke generasi, diperlukan upaya terus-menerus untuk memenuhi kualitas penidikannya. Dalam hal ini membermaknakan unas berarti menempatkannya secara utuh proses pelaksanaan pendidikan nasional. Bukan sebagai percikan-percikan makna pendidikan dalam bentuk unas.

Menyadari pula bahwa sekarang ini unas telah menjadi "bias". Padahal, kalau kebijakan otonomi dan desentralisasi pendidikan terus diperkuat pelaksanaannya, secara berangsur-angsur pergeseran peran dari peme­rintah pusat ke pemerintah daerah dan dari pemerintah ke nonpemerintah akan menyatu ke dalam keseluruhan spektrum pengelolaan sistem pendidikan nasional. Hal ini tersurat dan tersirat dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003. Ini berarti unas nanti tidak diperlukan lagi. Dan, mandat diberikan sepenuhnya kepada sekolah masing-masing. Bahkan, bagi sekolah yang sudah terakreditasi, seharusnya tepercaya pula sebagai lembaga pendidikan yang mandiri.

Kehadiran dewan pendidikan dan komite sekolah adalah kekuatan yang seharusnya mendukung proses perwujudan otonomi dan desentralisasi pendidikan dasar, baik di tingkat kabupaten/kota maupun sekolah. Begitu pula penerapan manajemen berbasis sekolah menjadi semakin bermakna. Inilah yang sesungguhnya perlu memperoleh perhatian dari semua pihak dalam mengkritisi perjalanan menuju tercapainya proses pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pendidikan dasar secara nasional. Lebih-lebih dengan luasnya wilayah yang harus dijangkau, diperlukan kebijakan yang luwes dan luas. Bukan kebijakan yang mengarah pada penyeragaman. Tetapi, kebijakan yang mengarah pada keadilan dan pengakuan maupun penghargaan terhadap kemajemukan.

Sebagaimana sejarah pendidikan di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah merdeka, pendidikan tumbuh dan berkembang di atas kemajemukan masyarakatnya. Lembaga-lembaga pendidikan yang bercorak keagamaan (terutama Islam, Kristen, dan Katolik) telah hadir dan menjadi bagian tak terpisahkan dari pergerakan menuju Indonesia merdeka. Bahkan, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, boleh dikatakan berbagai jenis dan jenjang pendidikan yang bercorak keislaman, merupakan bagian dari bangunan dakwahnya.

Maka, tidaklah berlebihan dan tidak pula mengada-ada jika pendidikan Islam sesudah Indonesia merdeka semakin menyatu, bahkan menjadi modal terbentuknya sistem pendidikan nasional. Karena itu pula, apa yang tersurat dan tersirat dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 maupun berbagai kebijakan yang menyertainya harus mengakomodasi keberadaan dan peran pendidikan Islam dalam proses mencerdaskan bangsa. Ini berarti bahwa ke depan pemaknaan pendidikan dan kebijakan politik pendidikan nasional mestilah bertumpu pada kemajemukan itu. Dan, berkembangnya wacana pendidikan multikultural adalah niscaya.

Bertolak dari kenyataan sejarah pendidikan itu, maka dalam membermaknakan unas, dari sudut pandang kependidikan maupun sosial dan politik perlu dijadikan acuan menuju ke arah tercapainya standar nasional pendidikan, baik isi, proses kompetensi lulusan, dan lainnya maupun evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Dengan demikian, kebijakan unas tidaklah berdiri sendiri, melainkan harus menyatu dengan serangkaian kegiatan maupun jenis dan jenjang pelembagaannya (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA maupun yang sederajat).

*) HA. Malik Fadjar, menteri pendidikan nasional 2001-2004

Read More......

Kamis, 25 Maret 2010

Techno

Virus Komputer "Life is Beautiful" Mengancam

JAKARTA, KOMPAS.com - Perusahaan peranti lunak Microsoft dan Norton, Selasa (23/3/2010), menginformasikan adanya ancaman penyusupan virus baru lewat surat elektronik (e-mail) yang merusak data komputer pengguna layanan internet, seperti Yahoo, Hotmail, dan AOL (American OnLine).

Virus itu masuk ke surat elektronik dalam bentuk program presentasi Power Point dengan nama "Life is Beautiful". Jika Anda menerimanya segera hapus file tersebut. Karena jika itu dibuka, akan muncul pesan di layar komputer Anda kalimat: "it is too late now; your life is no longer beautiful..." (Sudah terlambat sekarang, hidup Anda tak indah lagi).

Akibatnya, Anda akan kehilangan semua data di komputer. Bukan itu saja, orang yang mengirimkan 'virus' itu akan mendapatkan akses ke nama, e-mail, dan password Anda. AOL telah mengonfirmasikan, peranti lunak antivirus yang sementara ini sudah ada tidak mampu menghancurkan "Life is Beautiful". Virus ini diciptakan oleh seorang hacker yang menyebut dirinya "Life Owner". (KOMPAS/YUN)

Read More......

Senin, 22 Maret 2010

Language

Menyoal Bahasa "Gaul"

Oleh Ferdinaen Saragih

Dewasa ini penggunaan bahasa Indonesia (BI) kian digeser oleh bahasa gaul, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia media. Interferensi bahasa gaul (bahasa slank) bahkan muncul dalam penggunaan BI pada situasi resmi.
Secara harfial isatilah gaul berarti “hidup berteman” (KBBI Edisi Ketiga. Balai Bahasa. 2005) Istilah ini mulai muncul pada akhir ahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai bahasanya anak tongkrongan yang biasanya kental dengan bahasa etnis betawi. Lambat bahasa gaul dianggap lebih bergengsi karena merupakan campuran antara bahasa masyrakat Ibu kota (etnis Betawi) dengan bahasa asing, sehingga masyarakat khusunya remaja secara psikologis ingin dianggap memiliki gengsi yang lebih tinggi dengan menggunakan bahasa gaul.

Ditambah dengan peran media (elektronik) lebih senang menggunakan istilah bahasa gaul dalam film-film khusunya film remaja. Aritnya bahasa gaul tidak hanya terjadi karena kontak langsung antara masyarakat itu sendiri, tapi sebagian besar karena “disuapi” oleh media. Padahal media massa memiliki peran besar dalam perkembangan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah yang yang telah ada.

Ironis memang, jika dulu media (media cetak) begitu bangga dengan bahasa Indonesia. Media turut serta menyebarkan kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, bahasa kebanggaan, tetapi sekarang peran media dipertanyakan? Akan tetapi kita masih bersyukur karena tidak semua media berperan dalam meruntuhkan penggunaan BI. Beberapa media masih tetap memegang teguh idealismenya. Umunya media-media cetak yang memiliki idealisme tinggi terhadap bahasa Indonesia.

Di samping itu, dunia pendidikan tentu sangat memengaruhi perkembangan bahasa Indonesia, namun sayangnya tidak jarang siswa bahkan pengajar sendiri memandang remeh bahasa indonesia itu sendiri. Bahasa indonesia seolah dinomorduakan. Pelajaran bahasa Indonesia hanya dianggap sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah. Artinya tidak didasari kecintaan terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. Siswa tidak dididik untuk sadar akan pentingnya bahasa Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan cara pengajaran pendidik. Pengajar kurang bisa mendorong siswa untuk secara langsung mengaplikasikan teori-teori bahasa secara langsung. Misalnya dengan menulis. Dengan menulis siswa dapat belajar mengenai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan memilih kata-kata yang sesuai dengan pembakuan bahasa. Bukankah cerminan seseorang dapat dilihat dari segi bahasanya. Bahkan lebih jauh lagi, bangsa yang berbudaya luhur adalah bangsa yang menjungjung tinggi bahasanya.

Sekarang yang menjadi pertanyaan akan dibawa kemana bahasa Indonesia tercinta ini? Apakah kita akan terus terlarut dalam intervensi bahasa asing dan bahasa gaul yang kian meruntuhkan integritas bahasa indonesia itu sendiri? Jawabannya ada pada kita sebagai bangsa yang mencintai bangsanya dan bahasanya.

Di satu sisi memang bahasa itu adalah hak dari penuturnya. Terserah penutur ingin menggunakan bahasa apa. Akan tetapi bahasa itu seperti layaknya manusia, bahasa bisa hidup dan bisa juga mati. Apakah kita akan membiarkan bahasa Indonesia itu mati. Mungkin memang kekhawatiran itu masih jauh. Saya yakin bahasa indonesia akan terus hidup dengan catatan kita terus menyaring intervensi dari bahasa asing dan bahasa gaul.

Sebagaimana dengan hakikat bahasa itu sendiri, bahwa bahasa itu dinamis. Bahasa itu terus berkembang, baik secara kontak sosial secara langsung maupun tidak langsung. Bahasa indonesia pun demikian. Keterbukaan perlu untuk membuar agar bahasa indonesia menjadi bahasa yang mumpuni, artinya bahasa Indonesia tidak hanya dijadikan sebagai bahasa alat komunikasi semata, tetapi juga sebagai bahasa pendidikan. Disitulah mengapa beberapa istilah asing oleh Badan Penelitian Pengembangan dan Pembinaan Bahasa diindonesiakan.

Sesungguhnya adanya istilah bahasa asing kedalam bahasa Indonesia tidak semuanya berdampak buruk terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. Hal itu juga bisa memperkaya bahasa Indonesia itu sendiri. Akan tetapi tetap perlu adanya kontrol agar penggunaan istilah asing tersebut proporsional.

Apakah kita Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa gaul yang, perlu adanya tindakan dari semua pihak yang peduli terhadap integritas bahasa Indonesia itu sendiri. bahasa persatuan, dan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, juga menjadi sesuatu kebanggaan kita di kalangan masyarakat dunia.

Dengan keperdulian pihak-pihak yang berpengaruh mempengaruhi eksistensi bahasa Indonesia yang baik dan benar tersebut, bahasa Indonesia dapat selalu memegang komitmennya, sesuai dengan tatan bahasa dan KBBI yang sudah ada.

Read More......

Rabu, 17 Maret 2010

TEACHER'S NEWS

Horeee... Guru Punya Bank Sendiri

JAKARTA, KOMPAS.com - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mendirikan Bank Guru berbentuk bank perkreditan rakyat yang tahun ini siap beroperasi di enam provinsi. Kepemilikan saham Bank Guru itu hanya bisa dinikmati guru, dosen, dan tenaga pendidik lainnya.
Bank ini didedikasikan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan dan profesionalisme serta perlindungan guru.
-- Unifah Rosyidi

Unifah Rosyidi, Ketua Harian Pengurus Besar PGRI yang juga Ketua Tim Pendirian Bank Guru, di Jakarta, Senin (15/3/2010), menjelaskan, pendirian Bank Guru itu untuk mendukung peningkatan kesejahteraan guru dan memudahkan guru dalam mendapatkan pinjaman dana. Meski merupakan salah satu unit usaha di bawah PGRI Pusat, pengurusan dan pengembangan Bank Guru ini dilakukan oleh tenaga-tenaga profesional serta mengikuti ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.

"Kami ingin supaya guru tidak mengalami kendala dalam mendapatkan dana. Jika guru hendak kuliah, misalnya, mereka bisa menikmati pinjaman dari Bank Guru. Bank ini didedikasikan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan dan profesionalisme serta perlindungan guru," tutur Unifah.

Saham Bank Guru dapat dimiliki guru, dosen, dan tenaga pendidik lainnya. Nilai satu lembar saham Rp 100.000. Menurut Unifah, Bank Guru siap beroperasi di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta. Modal minimal untuk pendirian Bank Guru di tingkat provinsi sebesar Rp 2 miliar.

Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, menambahkan, PGRI yang menaungi lebih dari 2 juta guru kehadirannya mesti bisa bermanfaat bagi anggotanya.

"Guru yang mau kredit untuk menyekolahkan anaknya atau mau kuliah agar bisa ikut sertifikasi bisa mendapat pinjaman dari Bank Guru," ujarnya.

Sulistiyo mengatakan, terobosan-terobosan terus dilakukan PGRI untuk memperkokoh organisasi guru. Selain memperjuangkan kesejahteraan, fokus PGRI juga pada peningkatan mutu dan profesionalisme serta perlindungan hukum bagi guru.

PGRI, kata Sulistiyo, juga membentuk Dewan Kehormatan Guru Indonesia. Dalam kasus yang melibatkan guru diharapkan tidak langsung diproses polisi.

"Kami minta guru yang memiliki kasus penanganannya diserahkan dulu ke Dewan Kehormatan Guru. Dewan nanti akan mengkaji sanksi yang tepat, termasuk kemungkinan diproses hukum," ujarnya. (ELN)

Read More......

Jumat, 12 Maret 2010

Skill

Microsoft Tiupkan "Angin Segar" untuk Para Guru
Rabu, 10 Maret 2010 | 21:08 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Microsoft Indonesia meniupkan "angin segar" kepada para guru Indonesia yang saat ini masih sangat memerlukan pelatihan teknologi informasi dan komunikasi, karena perubahan teknologi sudah sedemikian cepat, sementara banyak guru tertinggal untuk beradaptasi dan menguasai teknologi itu.
Microsoft sangat terbuka terhadap penggunaan open source. Mereka tidak memaksakan diri untuk memakai software-nya.

Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Ikatan Guru Indonesia (IGI) Moh. Ihsan kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (10/3/2010). Ihsan mengatakan, IGI sedang menjalin kesepakatan dengan Microsoft Indonesia untuk meningkatkan mutu guru Indonesia melalui pelatihan teknologi informasi.

Menurutnya, Microsoft berkomitmen memberikan pelatihan kepada sekitar 4.000 guru se-Indonesia selama setahun ini. Diharapkan, hal itu bisa mendapatkan dukungan dari semua pihak, termasuk Kementerian Pendidikan Nasional untuk merealisasikan kerjasama ini.

"Komitmen ini sudah dinyatakan kepada kami dan rancangan perjanjian kerjasamanya sedang kami finalisasi," tandas Ihsan.

Komitmen tersebut, lanjut dia, merupakan "angin segar" bagi guru-guru Indonesia untuk meningkatkan kompetensinya. IGI sendiri pun tidak perlu lagi mengeluarkan anggaran untuk membiayai para master teacher yang akan dikerahkan oleh Microsoft untuk melatih para guru tersebut.

"Yang menggembirakan, Microsoft sangat terbuka terhadap penggunaan open source. Mereka tidak memaksakan diri untuk memakai software-nya," tambah Ihsan.

Read More......